Di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, terdapat sebuah tantangan unik yang dihadapi oleh SMAN 3 Dompu. Pada musim tanam dan panen jagung, banyak siswa yang memilih untuk membantu orang tua mereka di ladang daripada datang ke sekolah. Pilihan ini memang masuk akal secara ekonomi, karena dalam sehari mereka bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 100.000-120.000. Namun, hal ini berdampak serius pada pendidikan mereka, terutama karena periode panen selalu bertepatan dengan jadwal ujian sekolah di bulan November-Desember dan Mei-Juni. Absensi berkepanjangan selama 1-2 bulan, hampir 20% dari jumlah siswa, membuat mereka kesulitan dalam mengikuti ujian dan mencapai capaian belajar yang optimal.
Selain masalah absensi, para guru juga melihat adanya kejenuhan yang mengakar di antara siswa dalam belajar di ruang kelas. Metode pembelajaran yang sering kali monoton membuat siswa kehilangan semangat, membutuhkan suasana baru dan ruang yang lebih terbuka agar mereka bisa berekspresi dan mengeksplorasi potensi diri. Inilah yang menjadi pendorong bagi para guru untuk menghadirkan cara baru dalam memotivasi siswa, agar mereka tidak hanya merasa bebas dalam belajar tetapi juga tetap terhubung dengan alam dan lingkungan sekitar.
Setelah lima perwakilan guru dari SMAN 3 Dompu mengikuti pelatihan Gerakan Transformasi Pembelajaran yang diselenggarakan oleh Direktorat SMA bekerja sama dengan Ashoka dan Jabar Masagi, muncul inisiatif pembelajaran berbasis alam, sebuah gerakan untuk menjawab dua tantangan besar tersebut dan memberikan pengalaman belajar yang berbeda bagi siswa. Dipimpin oleh beberapa guru kreatif, seperti Bu Eva dan Pak Hairudin selaku kepala sekolah dan wakil bagian kurikulum, mereka menciptakan program “Belajar Sehari di Alam.”
Belajar Sehari di Alam: Mengubah Alam Menjadi Kelas Terbuka
Program “Belajar Sehari di Alam” melibatkan satu kelas dari tiap jenjang secara bergiliran. Dalam kegiatan ini, para siswa dibimbing oleh guru mata pelajaran yang terjadwal pada hari tersebut untuk belajar di luar kelas. Di alam terbuka, mereka belajar dengan cara yang jauh berbeda dibandingkan dengan di dalam ruang kelas. Siswa dapat bebas berekspresi, seperti bernyanyi tanpa merasa mengganggu, dan menikmati pengalaman belajar yang lebih santai dan menyenangkan.
Materi pelajaran disesuaikan dengan lokasi dan kondisi alam. Misalnya, pada pelajaran Kimia, siswa belajar tentang konsep asam dan basa di Cafe Alam dengan memanfaatkan bahan alami. Mereka mencari tanaman dan bunga berwarna, kemudian menguji tingkat asam dan basa pada bunga-bunga tersebut dan membandingkannya dengan buah-buahan seperti jeruk. Pembelajaran langsung ini membuat siswa lebih memahami materi dan merasakan bahwa ilmu yang mereka pelajari bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk pelajaran Informatika, yang memiliki tantangan tersendiri karena keterbatasan kemampuan dasar siswa dalam menggunakan program komputer, para guru menyesuaikan tugas agar tetap relevan dan menarik. Siswa mengambil foto selama kegiatan di alam dan menggunakannya sebagai cover e-book sederhana yang mereka buat di Microsoft Word. Kegiatan ini membantu siswa mengembangkan kreativitas sekaligus mengenalkan keterampilan teknologi dasar dengan cara yang lebih terjangkau.
Sekolah Alam: Langkah Lanjutan Menuju Pembelajaran yang Relevan
Melihat keberhasilan “Belajar Sehari di Alam” dalam meningkatkan minat dan keterlibatan siswa, tim guru berencana melangkah lebih jauh dengan program “Sekolah Alam.” Inisiatif ini akan menjawab langsung tantangan tingkat absensi rendah saat musim tanam dan panen jagung dengan mengintegrasikan kegiatan belajar di ladang. Dalam program ini, siswa akan mempelajari berbagai materi yang relevan dengan kegiatan mereka di lapangan, misalnya dalam pelajaran Matematika untuk mengukur jarak antar tanaman jagung, atau pelajaran Biologi untuk mempelajari bagian-bagian tanaman jagung. Nantinya, siswa akan mencatat pengamatan mereka dan melaporkan hasil pembelajarannya setelah menyelesaikan kegiatan di ladang.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu memberikan dukungan penuh terhadap program ini, menyadari bahwa metode ini bisa menjembatani kesenjangan antara kebutuhan ekonomi siswa dan capaian pendidikan mereka yang hampir dialami oleh setiap sekolah menengah di kabupaten tersebut. Dengan “Sekolah Alam,” siswa didorong untuk mandiri dalam belajar, membiasakan diri untuk berpikir kritis, serta mengembangkan keterampilan hidup yang relevan dengan kondisi sekitar mereka.
Peran Tokoh Penggerak di Balik Inisiatif Perubahan
Kesuksesan program ini tidak terlepas dari dedikasi para tokoh penggerak di SMAN 3 Dompu. Pak Hairudin sebagai wakil kepala sekolah menyediakan ruang bagi guru-guru untuk bereksperimen dengan metode belajar baru. Sementara itu, Bu Eva sebagai kepala sekolah menjadi figur inspiratif yang mendorong perubahan, dan Bu Ida, guru PPKn, bersama Bu Nurnaningsih sebagai pendukung yang baik, berperan penting dalam merealisasikan ide-ide kreatif ini. Kolaborasi dan kepemimpinan yang inklusif membuat program ini lahir dan berhasil dijalankan dengan penuh semangat.
Inisiatif “Belajar Sehari di Alam” dan rencana “Sekolah Alam” tidak hanya menjawab permasalahan absensi dan kejenuhan belajar, tetapi juga membuka peluang bagi siswa untuk merasakan bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja, bahkan di alam terbuka. Program ini mengajarkan siswa untuk menghargai alam, mengeksplorasi potensi diri, dan pada akhirnya mempersiapkan mereka untuk menjadi individu yang lebih mandiri dan kreatif.