Atha - Kampanye Kreatif Hemat Energi di Sekolah

Melihat kurangnya minat orang muda terhadap energi dan kurangnya kesadaran akan perubahan iklim, Atha meningkatkan kesadaran penghematan energi melalui kampanye edukasi kreatif di sekolah.

Headshot of AYC Atha smiling at the camera wearing glasses and a black suit on a nature background.

Era digital telah melahirkan berbagai inovasi baru yang dapat mempermudah pekerjaan manusia, tetapi juga memperkuat ketergantungan terhadap energi dan listrik yang semakin meningkat dalam konsumsinya. Kebijakan energi yang belum optimal dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan elektronik yang bijaksana menjadi faktor utama yang mendorong pemborosan tersebut.

Di tengah tantangan ini, orang muda sebagai digital native memegang peranan penting dalam mencetak masa depan yang lebih hemat energi. Dengan semangat inovasi, kolaborasi, dan kepekaan terhadap isu-isu lingkungan, generasi muda memiliki potensi besar untuk menemukan solusi-solusi yang cerdas dan berkelanjutan guna mengatasi pemborosan energi dan listrik.


Siang hari terik, di sebuah kelas di salah satu sekolah Tangerang, terlihat siswa-siswa tengah belajar. Lampu-lampu kelas menyala di tengah langit yang cerah dan pendingin ruangan berjalan bahkan di kelas-kelas yang kosong. Bagi banyak orang, membiarkan lampu menyala saat tidak diperlukan mungkin tampak sepele, namun bagi Atha, seorang remaja berusia 17 tahun, ini adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam konservasi energi di Indonesia. 

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia mengalami pemborosan energi listrik yang signifikan, dengan konsumsi per kapita yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2023 saja, PLN melaporkan bahwa konsumsi listrik satu orang sekitar 1.285kWh/kapita. Lebih jauh lagi, ia menyadari bahwa informasi dan kesadaran tentang cara menghemat energi sangat terbatas, terutama bagi sesama siswa di sekolahnya. 

Dari kecil, Atha sudah akrab dengan cerita-cerita ayahnya yang bekerja di sektor energi, tentang kompleksitas dan tantangan dalam memproduksi listrik untuk kebutuhan sehari-hari manusia. Ayahnya sering menceritakan bahwa untuk menghidupkan sebuah lampu, para pekerja harus melalui banyak tahapan yang lama dan berbahaya. Selain itu, sumber energi utama yang digunakan saat ini adalah sumber energi fosil yang memakan ratusan juta tahun untuk menjadi minyak bumi, gas, ataupun batubara, dan tidak dapat diperbaharui.

Kisah ini berangkat dari pengalaman masa kecil Atha, saat ia diajak ayahnya untuk mengunjungi desa-desa di sekitar tempat ayahnya bekerja yang terbenam dalam kegelapan setiap malam karena kekurangan listrik. Peristiwa ini membekas dalam pikirannya. Atha tumbuh dengan keyakinan bahwa akses terhadap listrik dan energi adalah hak asasi setiap orang dan bahwa pemborosan energi akan merugikan manusia dan alam di masa depan.

Realitas bahwa krisis energi dapat menjadi tantangan besar bagi generasi mendatang, Atha mengambil inisiatif untuk meningkatkan kesadaran di antara teman sebayanya. Atha menyadari bahwa kebanyakan informasi tentang konservasi energi terlalu kompleks dan teknis, sehingga sulit dipahami oleh banyak orang muda.

Atha, bersama dengan teman sekelasnya, Helga, kemudian mencetuskan SA-FUN (Saving Energy is Fun), sebuah inisiatif yang dirancang untuk mengenalkan konservasi energi melalui media komunikasi kreatif. Mereka menggunakan berbagai alat kampanye seperti board game, video interaktif yang dibagikan di media sosial, selebaran yang mudah dipahami, dan stiker pengingat yang ditaruh di berbagai lokasi di sekolah.

Kampanye ini juga dilakukan dengan cara mengunjungi kelas-kelas untuk mengenalkan praktik hemat energi dengan pendekatan yang interaktif, seperti bermain peran membayangkan hidup di dua dunia: hemat energi atau boros energi dan mendiskusikan dampaknya. Siswa-siswi merasa antusias memainkan peran menjadi Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), aktivis lingkungan, pelajar, dan aktor-aktor lainnya yang berkaitan atau terdampak dengan isu energi. Cara ini merupakan sebuah ‘kurikulum’ belajar yang mereka bagikan ke 10 sekolah di Indonesia untuk mengajak orang muda mengubah stigma terhadap energi dan menghemat penggunaan listrik, mulai dari di sekolah.

Perluasan inisiatif Sa-Fun ke sekolah-sekolah di berbagai kota tidak selalu diiringi dengan eksekusi yang mudah. Jumlah tim inti yang sedikit dan padatnya aktivitas sebagai siswa SMA terkadang menjadi tantangan dalam menjalankan kegiatan. Namun, dengan mengajak setiap anggota tim untuk memimpin dan berperan aktif, serta berkolaborasi dengan guru dan siswa di sekolah tujuan, porsi pekerjaan setiap orang dapat dikelola dengan baik di tengah kesibukan. Selain itu, interaksi dengan teman-teman baru yang antusias terhadap isu ini di setiap kegiatan Sa-Fun menjadi motivasi bagi Atha dan tim untuk terus berkarya.

Selain menggali isu krisis energi, Atha juga memantik diskusi tentang solusi sederhana yang bisa dilakukan di tingkat individu. Ia berusaha mendorong teman sebayanya untuk merasa berdaya dalam membawa perubahan. Dengan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, seperti kebiasaan menghemat energi, Atha berharap dapat membangkitkan empati dan motivasi orang muda untuk melakukan aksi nyata. Sejauh ini, Sa-Fun telah berhasil mengajak lebih dari 1000 siswa untuk mengadaptasi kebiasaan hemat energi dan menjadi "Duta Hemat Energi" di sekolah masing-masing.

Atha memerhatikan bahwa teman-temannya mulai melakukan tindakan kecil namun bermakna ke dalam rutinitas harian mereka, seperti mematikan lampu dan kran air, serta mencabut pengisi daya laptop dan ponsel ketika sudah penuh. Tidak hanya siswa, manajemen sekolah dan guru juga merasakan dampak yang positif dari kebiasaan baru ini, mereka berhasil menghemat penggunaan listrik sekitar 45% dari biaya listrik sebelum inisiatif Sa-Fun diterapkan. 

Bangsa ini membutuhkan kehadiran orang muda yang berani beraksi.

Atha merasa saat ini orang muda kerap kali berhenti untuk bergerak karena stigma negatif di masyarakat, seperti dianggap 'tidak tahu apa-apa' atau kurang kompeten untuk mengambil sebuah peran penting. Namun, inilah saatnya untuk mengubah paradigma itu. Dengan menjadi Ashoka Young Changemaker, Atha menunjukkan bahwa orang muda tidak hanya memiliki kemampuan untuk membawa perubahan sosial, tetapi juga dapat menginspirasi teman-temannya untuk turut berperan aktif dalam membangun masa depan yang lebih baik. Atha percaya bahwa setiap orang dapat memainkan peran sesuai porsinya. Sekecil apa pun peran itu, seperti mematikan lampu atau mengingatkan orang lain untuk menghemat penggunaan listrik di rumah, akan membawa perubahan di sekitarnya.