Belajar Menjadi Keluarga Pembaharu: Refleksi Membersamai Para Ebok dan Bapak Ledokombo

Di Kecamatan Ledokombo, budaya patriarki mengharuskan perempuan memakai nama suami atau anak. Melalui Zaka Ardiansyah lewat Gaharu Keluarga, perempuan diajak belajar menggunakan nama asli mereka, berbagi pengalaman hidup, dan mendiskusikan peran gender dalam keluarga untuk mendorong kesetaraan dan saling dukung dalam kehidupan sehari-hari.
Teyfik Sahin in a classroom
Source: Gefangene helfen Jugendlichen

Matahari sedang merambat menuruni dedaunan pisang tatkala para ebok bergantian mengeja nama temannya yang baru mereka tulis di sampul buku catatan harian. Em A Ma, Te I Ti, MATI. Saat mendengar Mati, nama asli salah satu ebok atau Ibu dieja, gelak tawa memenuhi seisi ruangan. Ya, para ebok memang sebagian baru tahu nama asli teman-temannya.


Hembusan angin yang menuruni lereng Gunung Raung melengkapi keceriaan para perempuan peserta sekolah perempuan ini. Meski mereka telah belajar materi identitas yang mengajarkan mereka menggunakan nama aslinya. Para ebok kerap tidak tahu nama asli teman-temannya. 


Cengkeraman Budaya Membuat Perempuan Tak Berdaya
Memang, budaya masyarakat Kecamatan Ledokombo menetapkan aturan, bahwa lebih sopan dan mulia memanggil seorang perempuan yang sudah menikah dengan nama suami atau nama anaknya. Belum lagi migrasi ilegal membuat mereka memiliki nama lain. Sehingga ada peserta yang memiliki lima nama berbeda. Cengkeraman budaya kerap kali membuat mereka tak berdaya.


Beberapa peserta masih saja merasa cangkolang, tak sopan, memanggil nama asli para ebok lain. Beberapa bulan tinggal di di kawasan ini di tengah pandemi dan membersamai mereka belajar pascapandemi, membuat saya memahami beratnya menjalani kehidupan sebagai seorang ebok di desa yang berada di ujung Selatan Kecamatan Ledokombo ini.


Budaya patriarki yang masih kuat, godaan migrasi tak aman ke luar negeri, tak sopan melekatkan nama kandung, dan godaan pinjaman rentenir harian menjadi bagian dari dinamika kehidupan para ebok di kawasan ini.


Memulai Perjalanan bersama Gaharu Keluarga
Melalui Gaharu Keluarga, gerakan keluarga pembaharu yang diinisiasi Ashoka, para perempuan peserta sekolah ibu diajak bermain Sungai Kehidupan Keluarga. Difasilitasi Siti Latifah, Sulis Susilowati, dan saya, Mochammad Zaka Ardiansyah, yang telah mendapatkan pelatihan Gerakan Keluarga Pembaharu (Gaharu) dari Ashoka sebelumnya. 


Sungai Kehidupan Keluarga berhasil membantu para ebok membuka pengalaman luka dan tawa selama perjalanan keluarga mereka. Sebagian lebih mengharu biru karena menggambarkan perjalanan hidupnya bersama dengan suami dan anak mereka. Sementara, sebagian ebok harus membuat sungai kehidupan bersama anaknya, tanpa keterlibatan suaminya yang sedang menjadi pekerja migran di Saudi.


Beberapa minggu berikutnya, para ebok dan bapak, dalam kesempatan belajar yang berbeda, bersama-sama menonton film “A Thousand Cuts” dan mendiskusikannya. Para peserta dibantu fasilitator mempelajari alur cerita film berbahasa Inggris ini. Karena berdurasi lama, peserta menyepakati menonton separuh awal film. 


Dari film yang mengisahkan pemerintah negara lain merepresi media ini, para peserta memilih mendiskusikan sebuah perspektif dalam film, yakni tentang bagaimana framing informasi dapat mempengaruhi opini publik dan mendiskusikan pentingnya melakukan pengecekan fakta. 


Sebagai refleksi, di kesempatan terpisah, para peserta juga dipandu para fasilitator melakukan permainan bertajuk “Bisik-bisik Tetangga”. Para ebok dan bapak diajak berbaris memanjang. Ebok dan bapak yang berada di urutan depan diberikan sebuah kalimat dalam bahasa Madura dan diminta membisikkan kalimat tersebut pada teman di belakangnya secara bergantian. 


Hasilnya, kalimat yang sampai pada orang terakhir berbeda jauh maknanya. Gelak tawa pun tak terhindarkan memenuhi ruang belajar mereka. Mereka kemudian bersama-sama merefleksikan, bahwa dalam konteks relasi bertetangga, mereka perlu melakukan tabayyun (klarifikasi) pada tetangga yang menjadi objek gosip, pasca menerima informasi miring tentangnya, sebelum meyakininya dan meneruskan informasi tersebut pada orang lain. 


Mereka menyimpulkan, meskipun informasi tersebut benar, akan sangat mungkin terjadi distorsi dan penambahan informasi setelah informasi tersebut melalui beberapa orang. Pun juga saat mendengar kabar menggemparkan di desanya, para bapak menyimpulkan bahwa mereka perlu mengecek dulu kebenarannya di lokasi sebelum menyebarkan kabar tersebut secara lisan maupun melalui WhatsApp. 


Diskusi pun berkembang hingga para peserta berbagi cerita dan menyimpulkan bahwa para peserta juga perlu mewaspadai modus penipuan melalui panggilan telepon, file APK di WhatsApp, penipuan pinjaman rentenir, dan pinjaman online yang telah banyak menjerat tetangganya.


Menjalani Peran Domestik Adalah Nasib, bukan Takdir


Tak berhenti di sana, para ebok juga bersama-sama menonton film “The Impossible Dream”, film pendek yang mengisahkan ketidakadilan peran gender yang dilakukan oleh ayah dan anak laki-laki terhadap istri dan anak perempuannya. Pasca menonton bersama, seorang ebok peserta merefleksikan bahwa menjalani peran domestik adalah nasib, bukan takdir.


Begitupun dengan beberapa ebok peserta lain, merefleksikan bahwa aktivitas hariannya penuh dengan tanggung jawab melaksanakan tugas domestik dan publik sekaligus. Jika sebelum berangkat ke sawah suami mereka merokok dan minum kopi, maka para ebok harus sibuk memasak sarapan di dapur. 
Pulang kerja pun mereka tidak segera dapat istirahat siang seperti suami mereka, karena berbagai pekerjaan domestik telah menunggu para ebok. Belum lagi melayani makan suami dan anak-anak mereka. Saat musim angin gunung tiba, mereka juga heran kenapa suami mereka tidak mau beraktivitas di rumah, sementara para ebok dan anak perempuan sibuk sendirian mengerjakan banyak pekerjaan rumah, di tengah angin menggigil. 


Alih-alih mengkritisi, sesungguhnya para ebok berharap suaminya tak keluar rumah saat banyak pekerjaan rumah perlu diselesaikan. Mereka berharap suaminya mau bersama-sama para ebok mengerjakan pekerjaan domestik, menjalankan mubadalah, prinsip kesalingan yang telah dipelajarinya. 


Pada pertemuan berikutnya, para ebok bersama-sama menulis catatan harian aktivitas dan perasaannya selama seminggu beraktivitas bersama keluarga. Ya, sebagaimana saya tulis dalam dalam paragraf awal, para ebok percaya diri menuliskan nama aslinya. Nama yang selama ini tidak sopan untuk diucapkan oleh orang lain, menurut budaya Ledokombo. 


Meskipun menulis catatan harian membuat beberapa ebok mulai berani bercerita, namun membuatnya konsisten melakukannya masih membutuhkan strategi lain. Karena setelah dua minggu berjalan, beberapa ebok peserta mengaku bukunya catatan hariannya hilang atau lupa tidak menuliskan catatannya. Namun, dibalik tantangan-tantangan tersebut tersebut, terdapat perubahan baik yang membanggakan. 


Jika sebelumnya beberapa ebok belum berani mengungkap trauma dalam rumah tangganya dan mendiskusikannya di forum, namun setelah menulis catatan harian, mereka mulai berani menuliskan masalah domestik dan peristiwa lucu dalam keluarganya selama seminggu dalam catatan hariannya. 


Ya, catatan harian yang kemudian tidak dibacanya sendiri secara lantang, namun dibacakan seorang peserta lain secara bergantian di hadapan seluruh peserta hingga membuat peserta lain bergelak tawa dan mendiskusikan pembagian peran gender dalam keluarga yang belum semua mereka rasakan.
Meski mendampingi para ebok dan bapak belajar setelah berdoa merupakan rutinitas yang telah berlangsung bertahun-tahun, namun menciptakan pembaharu untuk keluarga menjadi tantangan perjuangan yang harus terus dijawab para pendamping Gaharu Keluarga dengan ide-ide kreatif.


Bersyukur, ada tambahan ilmu yang didapat para pendamping beberapa bulan terakhir dan literasi pengolahan sampah yang didapatkan Siti Latifah saat melakukan kunjungan ke Pesantren Annuqayah Sumenep. Semoga ilmu yang didapat dapat berkontribusi mewarnai proses pendampingan selanjutnya. 

(Mochammad Zaka Ardiansyah – Pengajar dan Peneliti di UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember. Pendamping Komunitas di Tanoker Ledokombo, Jember, Jawa Timur dan Penulis Kisah Baik Change Leaders Gaharu Keluarga)